HUKUM PAJAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara
disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang
sedemikian itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus dikelula dengan
baik . Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak
dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik
Indonesia.
Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan
berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber
penerimaan Negara .Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan
undang-undnag, penerbitan peratuan perundang-undangan baru dibidang perpajakan,
guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber hukum pajak
lainnya.
Berbagai upaya yag dilakukan belum menunjukkan
perubahan yang singnifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin
diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi
dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan
pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan
Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.
B. Perumusan Masalah
Cukup terlihat pentingnya peranan penerimaan
pajak dalam skala penerimaan pajak nasional dan lebih lanjut pada penerimaan
Negara pada umumnya.
Penerimaan dalam negeri menjadi sumber utama
apabila kemandirian pembiayaan Negara yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia
benar-benar ingin direalisasikan. Untuk itu penerimaan pajak yang merupakan
salah satu komponen penerimaan dalam negeri yang harus ditingkatkan peranannya
karena pajak merupakan sumber penerimaan utama yang merefleksikan praktek
demokrasi yang paling mendasar yaitu peran serta rakyat ikut dalam pembiaaan
Negara dan pemerintahannya.
Penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah baik
Pusat maupun Daerah tentulah membutuhkan pembiayaan. Salah satu sumber dana
bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat di Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk memenuhi sumber dana bagi pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan tersebut Pemerintah Daerah akan berusaha
semaksimal mungkin untuk meningkatkan realisasi penerimaannya. Melalui
peningkatan penerimaan tersebut diharapkan juga dapat ditingkatkan pelayanan
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini dapat kami
jelaskan terlebih dahulu, bahwa materi bahasan yang diminta oleh penyelenggara
kepada kami adalah :
Implementasi Pungutan Pajak Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (PBHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah setempat sesuai dengan UU 22,34
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah serta Perda 26 Tahun 2000 tentang Tata Niaga
Kayu di Indonesia.
Namun setelah kami mempelajari peraturan
perundang-undangan yang berhubungan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah maka
untuk meluruskan kembali pengertian PAD yang dihubungkan dengan materi bahasan
yang diajukan penyelenggara maka judulnya menjadi seperti di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pengamatan kami telah menimbulkan
kecemasan dari kalangan dunia usaha terhadap kemungkinan pengenaan berbagai
pajak, retribusi atau pungutan lainnya oleh Pemerintah Daerah terhadap dunia
usaha untuk memacu peningkatan PAD.
Namun menurut hemat kami hal tersebut sangat
tidak beralasan, karena penetapan pajak dan retribusi daerah serta pungutan
lainnya harus diatur dengan Peraturan Daerah yang mengacu kepada peraturan
perundang-undangan secara nasional. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah
untuk meningkatkan PAD tentu saja dilakukan sepanjang koridor regulasi yang
ada, karena penetapan suatu kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah bukan lagi
monopoli Pemerintah Daerah tetapi juga diawasi oleh legislatif dan masyarakat.
Baik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah maupun penggantinya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, mengatur tentang Pendapatan asli Daerah
(PAD) tersebut. Dalam UU 5/1974 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari; 1) hasil
pajak Daerah, 2) hasil retribusi Daerah, 3) hasil Perusahaan Daerah, 4)
lain-lain usaha Daerah yang sah.
Kemudian dengan lahirnya kebijakan Otonomi Daerah
dengan desentralisasi otoritas dan desentralisasi fiskal yang diatur dengan UU
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dijelaskan bahwa sumber pendapatan Daerah
terdiri dari :
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu:
Hasil pajak Daerah.
Hasil retribusi Daerah
Hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil
penge-lolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.
Dana Perimbangan, yaitu: Bagian Daerah dari
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.
Dana Alokasi Umum (DAU).
Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pinjaman Daerah.
Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Jadi dari ketentuan di atas jelas bahwa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak dan retribusi Daerah serta
hasil usaha Daerah sendiri. Sedangkan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1997.
Pajak Daerah Kabupaten/Kota menurut UU 34/2000
terdiri dari:
Pajak Hotel.
Pajak Restoran.
Pajak Hiburan.
Pajak Reklame.
Pajak Penerangan Jalan.
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
Pajak Parkir.
B. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara
yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor
12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam
arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah
dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan
besarnya pajak.
Objek PBB adalah "Bumi dan/atau
Bangunan":
Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan
tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan,
tambang, dll.
Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanamkan atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik
Indonesia.
Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat
usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan
minyak lepas pantai, dll
Objek yang dikecualikan adalah objek yang :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional
yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah
sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan
purbakala.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan
wisata, taman nasional, dan lain-lain.
4. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik
berdasarkan azas timbal balik dan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
secara nyata :
- mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
- memiliki, menguasai atas bangunan, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bangunan.
Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan
kewajiban membayar pajak
Dasar Penghitungan PBB
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena
Pajak (NJKP).
Besarnya NJKP adalah sebagai berikut :
Ø Objek
pajak perkebunan adalah 40%
Ø Objek
pajak kehutanan adalah 40%
Ø Objek
pajak pertambangan adalah 20%
Ø Objek
pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00 adalah
40%
- apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah
20%
Tarif PBB
Besarnya tarif PBB adalah 0,5%
Rumus Penghitungan PBB
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka
besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka
besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)
Tempat Pembayaran PBB
Wajib Pajak yang telah menerima Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat
Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah
Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk
dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
BAB III
KESIMPULAN
Jadi dapat disimpulkan disini bahwa dalam hal
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (PBPHTB) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,
keberadaan Daerah Kabupaten/Kota hanyalah sebagai Daerah yang menjadi penghasil
pajak dan hanya berhak menerima bagian dari dana perimbangan yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Berbeda halnya dengan pajak dan retribusi Daerah yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah, Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola dan
mengaturnya sendiri.
Sehubungan dengan maksud dan tujuan dari seminar
ini yang ingin menata kembali pengelolaan hutan dan perkebunan yang berdampak
positif bagi Otonomi Daerah dan kehidupan masyarakat, memberikan rasa aman dan
kepastian hukum bagi Investor, serta memperjelas mendukung keinginan para
investor untuk mengembangkan usahanya di Daerah.
Daerah akan berupaya memberikan rasa aman dan
kepastian hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mengenai pengelolaan pertanahan yang menurut UU
22/1999 dan PP 25/2000 merupakan kewenangan Daerah Kabupaten/ Kota , namun pada
kenyataannya sekarang diambil alih lagi oleh Pusat dengan Keppres 10/2001
sehingga pada sebagian Daerah timbul dualisme pengelolaan pertanahan. Untuk
mengatasi hal tersebut APKASI telah berusaha meminta Pemerintah meninjau
kembali kebijakan tersebut.
Kecemasan kalangan dunia terhadap upaya Daerah
mengoptimalkan pungutan pajak, retribusi dan pungutan lainnya untuk memacu
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dicarikan solusinya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pengawasan dari
masyarakat.
Yang kami harapkan bagi pihak yang berwenang
dalam pemungutan pajak agar, pajak yang didapat dari pemungutan wajib pajak
tersebut harus bisa dipertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya, jangan sampai
pajak tersebut selalu di bebankan bagi masyarakat. Semua warga Negara ikut
serta dalam wajib pajak.
BAB IV
PENUTUP
Demikian
penjelasan sedikit mengenai pembayaran pajak yang benar agar anda tidak
dirugikan. Semoga makalah ini memberikan banyak informasi untuk anda semua dan
agar lebih berhati-hati lagi dalam menyetorkan uang pajak tersebut.
Pemerintah
dan lembaga-lembaga lebih tingkatkan lagi kedisiplinan para anggotanya agar
tidak terjadi hal seperti ini, dengan penertiban diharapkan kas Negara untuk
perpajakan bisa berjalan dengan baik. Karen itu semua untuk kepentingan
bersama.